
Kalau mau menyebut diri negara maritim, jelas harus siap sedia mengamankan wilayah dan batas-batas perairannya. Kalau tidak punya aset yang siap menjaga, tak perlulah tepuk dada akan kekuatan alutsista.
Tengok saja Singapura. Negara yang cuma satu pulau ini punya aset pesawat patroli maritim nan digdaya dalam bentuk Fokker F-50 Maritime Enforcer, bahkan boleh dikatakan terbaik di Asia Tenggara karena tak hanya mencari dan mendeteksi, tapi juga mampu menghancurkan.
Singapura boleh dibilang merupakan operator pesawat patroli maritim terbanyak di Asia Tenggara. Walaupun negerinya tidak memiliki wilayah perairan yang luas, namun Singapura memiliki kepentingan untuk mempertahankan kelancaran arus kapal dagang yang melewati Selat Malaka atau berlabuh di Singapura.

Maklum saja, pelabuhannya adalah salah satu pelabuhan paling ramai di Asia Tenggara, bahkan seluruh Asia. Oleh karena itu, mereka merasa wajib untuk dapat menjawab segala tantangan yang mungkin timbul, mulai dari ancaman perompakan sampai dengan konflik kewilayahan yang makin kesini makin menggejala.
Pada dekade 1970an dan 1980an awal, Angkatan Bersenjata Singapura mempercayakan tugas patroli maritim kepada pesawat angkut ringan Short Skyvan SC.7.
Seiring dengan meningkatnya kompleksitas tugas patroli maritim, AU Singapura pun segera mencari pesawat baru untuk menggantikan Skyvan. Setelah mempertimbangkan beberapa kandidat, pilihan jatuh kepada Fokker F50 Troopship Mk2.
Fokker 50 sendiri merupakan penyempurnaan dari Fokker F27 yang populer digunakan di Asia, termasuk Indonesia baik dari sisi sipil maupun militer. F50 menggunakan desain airframe serupa dengan F27, tetapi beberapa bagian struktur diperkuat dan material komposit diperkenalkan sehingga bobot pesawat lebih ringan.

Model F50 ini disempurnakan dengan penggantian mesin menjadi Pratt & Whitney Canada PW125B dengan enam bilah baling-baling yang menawarkan tingkat kebisingan rendah.
Fokker sendiri menyasar pasar militer dengan menawarkan F50 dalam varian patroli maritim, yang dibagi ke dalam dua versi, F50 Maritime Mk2 dengan andalan sistem sensor yang dapat dipergunakan untuk patroli di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan operasi SAR laut.
Versi keduanya adalah F50 Enforcer Mk2 yang merupakan varian yang dapat dipersenjatai dengan beragam senjata anti kapal permukaan dan kapal selam. Daftarnya meliputi Torpedo Mk44, Mk46, Stingray, A244/S, rudal anti kapal AM39 Exocet, AGM-84 Harpoon, atau Sea Eagle.
Fokker F50 juga dapat menjatuhkan sonobuoy untuk mendeteksi kapal selam. Untuk membopong sekian banyak senjata ini, F50 dilengkapi dengan dua pylon di bawah tiap sayap dan satu pylon di setiap sisi fuselage sehingga total ada enam pylon yang siap digunakan untuk membabat habis sasaran di permukaan atau bawah permukaan.
Fokker F50 Maritime Enforcer Mk2 juga mendapatkan modifikasi besar pada bagian fuselage. Berbeda dengan versi penumpang, kaca jendela disisakan hanya tiga unit di bagian belakang untuk spesialis misi, yang dapat didesain untuk dibuka pada saat pesawat terbang untuk memotret permukaan laut.
Ada juga jendela kaca berukuran besar tepat di depan pintu utama untuk mengamati permukaan secara lebih jelas.
Untuk sistem sensor, andalan utama F50 Enforcer Mk2 adalah radar maritim pulse doppler AN/APS-134(v)7 yang terpasang di blade antenna pada perut fuselage.

Radar ini merupakan versi komersial dari radar APS-116 yang menggunakan teknologi 512 x 512 x 8 bit digital signal converter. Antena pada AN/APS-134 berputar dengan kecepatan tinggi, 150rpm untuk memampukannya mendeteksi objek kecil di permukaan laut seperti periskop kapal selam atau kapal pembajak.
Radar ini dapat dioperasikan dalam tiga moda, Moda I yaitu frekuensi dan resolusi tinggi sampai jarak 32nm, cocok untuk mencari objek kecil di permukaan laut. Moda II yaitu pencarian jarak jauh dan navigasi yang dioperasikan dalam resolusi sedang dengan frekuensi rendah, sehingga jaraknya dapat diperluas sampai 150nm.
Sementara untuk Moda III adalah pengoperasian untuk surveilans maritim dengan frekuensi repetisi rendah 500pps dengan kecepatan putar rendah, 40rpm dan jarak deteksi 150nm, cocok untuk mendeteksi kapal seukuran kapal cepat dan kapal nelayan, dengan resolusi sampai sasaran sebesar 1m2 pada jarak 22nm dalam kondisi Sea State 3.
Fokker tercatat memesan enam unit radar APS-134(v)7 tersebut dengan nilai US$26 Juta pada tahun 1992 untuk melayani pesanan AU Singapura tersebut dengan penyerahan terakhir pada 1996.
Sensor lain yang tersedia di Fokker F50 Enforcer adalah sensor elektro optik yang menggabungkan antara FLIR (Forward Looking Infra Red), kamera televisi, dan kamera termal dalam satu bola yang kompak dan dapat berputar 360o.

Pemasangan bola optik ini diposisikan tepat di bawah kokpit di belakang ruang roda pendarat depan. Di ujung-ujung sayap dan ekor belakang terdapat antena ESM (Electronic Surveillance Measure) untuk menangkap emisi radar kapal permukaan atau pesawat terbang di sekitar area dengan cakupan 360o walaupun informasi tipe antena ESM yang dipakai oleh F50 Maritime Enforcer Mk2 tidak dibuka dengan jelas.
Selain itu, masih ada dua tonjolan di fuselage seksi belakang pada beberapa F50 ME Mk2, yang kemungkinan besar adalah tempat untuk antena RWR (Radar Warning Receiver).
Aset patroli maritim Singapura dipusatkan di 121st Squadron “Brahminy Kite” yang berpangkalan di Changi (West) dengan total 5 unit Fokker F50 Maritime Enforcer Mk2 dan 4 unit F50 MPA/ UTA (Utility Transport Aircraft) yang dibeli pada 1994 dan dinyatakan operasi penuh pada 1997.
Proses integrasi seabrek sistem dan sensor dikerjakan sendiri oleh Defence Technology Group yang merupakan badan di bawah Kementerian Pertahanan Singapura, dengan biaya hanya setengah jika dibandingkan apabila pekerjaan ini diserahkan kepada kontraktor swasta.