You are here
Home > Artikel > Di Balik Prahara B737 Max: Pebisnis Vs Enjinir, Siapa Menang?

Di Balik Prahara B737 Max: Pebisnis Vs Enjinir, Siapa Menang?

Artikel Apakah Boeing Dapat Keluar Dari Krisis 737 Max? yang diunggah Michelle Yan dalam situs Insider.com (Kamis, 11/7/19) menarik untuk dicermati.

Tulisan tentang situasi terkini dalam tubuh Boeing ini lebih merupakan peringatan kepada Pemerintah AS ketimbang sekadar info terkini bagi publik dunia.

Bahwa, baik Boeing maupun Pemerintah AS tak bisa terus menghindar dari tanggungjawab terhadap dua tragedi B737 Max 8 yang mengakibatkan 346 awak dan penumpang meninggal.

Disebut peringatan karena jika Gedung Putih tak mampu menjembatani proses investigasi dan tuntutan hukum yang dilayangkan keluarga korban, gelombang antipati dan ketidakpercayaan dunia terhadap Boeing akan berkembang jadi masalah sosial, ekonomi bahkan politik yang kian pelik.

B737 MAX 8 Assembly Line. Hawaii-Tribune Herald.com

Tanda-tanda ke arah itu sudah semakin jelas. Kini, ribuan Max di dunia masih di-grounded, yang tentu saja membuat income puluhan maskapai anjlok.

Di lain pihak, peminat Max 8 pun ramai-ramai membatalkan pesanannya. Akibatnya, load pekerjaan di hanggar Boeing menurun dan sekian banyak pekerja mulai terancam PHK. Jika bola salju masalah ini terus menggelinding, kelak perekonomian AS akan ikut terguncang.

Presiden Donald Trump bukannya tak mau membantu. Namun, saran yang diberikan justru membuat permasalahan semakin blunder. Presiden berlatar pebisnis ini menyarankan agar Max 8 segera di-rebranding dan Boeing menurutinya.

Boeing 737-8200, rebranding 737 MAX. woodys aeroimage

Hasilnya, industri yang menyerap puluhan ribu tenaga kerja ini mendulang cemooh, karena Boeing cuma sekadar mengganti nama menjadi B737- 8200, tanpa menyelesaikan problem teknis yang sesungguhnya.

Kunci permasalahan ini sesunnguhnya ada di tangan Kepala Program B737, yakni Eric Lindblad. Sebelum pesawat dirilis, ia telah menyiapkan perangkat, selain MSAC, untuk meredam kesalahan sensor Angle-of-Attack.

Kesalahan ini bisa terjadi sewaktu-waktu karena pilihan atas atas mesin hemat bahan bakar yang lebih berat cenderung membuat hidung pesawat mendongak. Namun, baik perangkat maupun silabus pelatihan simulatornya dicoret eksekutif Boeing. Alasannya, agar tak menambah biaya.

Merasa tersudut dan harus menanggung beban moral, Eric Lindblad pun mundur dari jabatannya. Apa yang bisa kita simak dari peristiwa ini? Pertama, Boeing seperti ingin mengingkari bahwa customer adalah raja, dan menganggap kedigdayaan AS bisa mengatasi segalanya, termasuk tekanan global.

Kedua, Boeing seperti tak paham bahwa perdagangan global telah berubah kian simpel dan modern. Bertahan pada kesalahan akan membuat pasar segera mengoreksi diri untuk kemudian beralih ke produsen lain.

Dan, ketiga, pimpinan Boeing berani mempertaruhkan trust (kepercayaan) yang telah dibangun susah-payah para pendahulunya. Padahal sekali saja trust hancur, akan sulit sekali untuk membangunnya kembali. Bagi perusahaan yang ikut menentukan perekonomian di AS, hal ini tentu berisiko besar.

737 MAX grounded, menunggu nasib

Jadi kalau ditanya, siapakah pemenang dalam pertikaian antara pebisnis dan enjinir, pertama yang kalah atau dikalahkan lebih dulu pasti enjinir.

Akan tetapi setelah itu pebisnis akan menemukan kuburannya sendiri. Masing-masing memang memiliki ego dan passion, namun keduanya tetap tak bisa jalan sendiri-sendiri.

Baik enjinir maupun pebisnis harus saling dukung menentukan keberhasilan produk. Enjinir akan memastikan efisiensi dan efektivitasnya, sementara pebisnis akan memastikan produk agar menarik untuk dibeli. (A. Darmawan)

Tinggalkan Balasan

Top